Isyu dan rencana pemerintah untuk menaikkan BBM telah menimbulkan luka secara fisik (kekerasan) dan keluhan secara psikis (trauma). Kekerasan mencuat kembali dalam beberapa hantaman dan pukulan pada sebagian aktivis (mahasiswa dan rakyat) di sejumlah daerah akibat demo menolak kenaikan harga BBM. Sementara keluhan dan beban psikologis telah meninggalkan trauma pada sebagian orang, aktivis --termasuk anak-anak TK dan SD yang melihat langsung demo menolak kenaikan harga BBM.
Peristiwa realitas itu terjadi pada 27-30 maret lalu di Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia.
Demo yang melibatkan aktivis sosial, mahasiswa, dan rakyat kelas menengah ke bawah (petani, buruh) untuk sementara 'membuahkan hasil', walaupun ada diantara pendemo yang luka2 dan sesak nafas akibat memperjuangkan hajat orang banyak, yakni pemerintah --setelah "berkonsultasi" dengan DPR-MPR-- bersedia menunda kenaikan BBM sampai 6 bulan ke depan.
Uniknya, banyak partai koalisi pemerintah yang malu-malu dan terang-terangan "ikut" menolak kenaikan harga BBM --entah takut pada gerakan aktivis mahasiswa dan rakyat kecil yang siap menduduki Senayan (tempat yang sejuk dan adem ayem bagi senator Indonesia dari berbagai partai peserta pemilu yang tidak mau diganggu kursi empuknya), atau entah memang "sengaja" menyuarakan kata-kata 'menolak' rencana pemerintah menaikkan harga BBM untuk menarik simpatik masyarakat Indonesia-- karena sudah dekat dengan jadwal pemilihan umum nasional (Pemilu) 2014 mendatang.
Kenaikan BBM suatu keharusan atau Mencekek Rakyat?
Versi pemerintah dan partai pendukungnya (Demokrat) melihat kenaikan BBM adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan dengan seabrek alasan; harga minyak dunia sedang melonjak, tidak mau ambil resiko ngutang pada negara2 donor (IMF dan cs-2nya), ingin menyelamatkan rakyat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, ingin menyelamatkan sistem ekonomi Indonesia (makro dan mikro), dan lain-lain. Tentu saja, alasan2 pemerintah itu telah dilakukan Pengkajian secara mendalam jauh oleh timnya sebelum isyu kenaikan BBM dimentalkan ke publik Indonesia dan sebelum terjadi demo 27-30 maret lalu.
Di sisi lain, boleh jadi pemerintah saat ini juga melirik historikal kenaikan BBM sepanjang realitas Indonesia atau semasa pemerintahan sebelumnya sehingga 'pembenaran' kenaikan BBM harus dilakukan. Atau memang, seperti kata salah seorang pengamat dari salah satu partai oposisi; "rencana menaikan harga BBM saat ini, ingin mengulang sukses tahun 2009 --setelah menaikkan kemudian menurunkan lagi harga BBM". Yang jadi soal, sesungguhnya 'sah2 saja' pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM, namun harus mengupayakan rakyat Indonesia semuanya kaya, jangan ada lagi masyarakat miskin, tinggal di emperan toko, di pinggir kali, atau di rumah reot beratap rumbia berdinding daun kelapa sebagaimana fakta realitas di sejumlah perkampungan di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya dan tidak ada lagi pengemis, anak jalanan, gelandangan dan pengangguran di seluruh negeri.
Seharusnya pemerintah peka dan positif thinking (bukan fiktive thinking) dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih morat-marit diseluruh negeri. Realitas sosial membuktikan bahwa Baru saja isyu rencana kenaikan BBM, seluruh bahan kebutuhan pokok (sembako), sandang dan papan sudah melambung harganya. Itu belum lagi onderdil sepeda dayung, sepeda motor, dan mobil dan servis ini dan itu. Kondisi morat-marit ini tidak hanya dirasakan oleh rakyat kecil (petani, buruh, kuli dan lain-lain), akan tetapi juga sangat dirasakan oleh para PNS (para guru TK, SD, SMP, SMA dan sederajat, dosen, pegawai kelurahan, pegawai puskesmas, pegawai di dinas-dinas atau pegawai rendahan lainnya yang berstatus PNS di instansi2 pemerintah kabupaten/kota).
Kondisi serupa juga dialami oleh para anggota TNI/Polri dan purnawirawan TNI/Polri yang berpangkat kapten ke bawah (seluruh anggota koramil dan polsek atau para anggota TNI/Polri yang bertugas di batalyon2 yang tersebar di seluruh Indonesia). Hanya para pejabat-pejabat saja, seperti; presiden dan seluruh pembantunya, gubernur, pejabat militer yang berpangkat letkol/kombes ke atas, bupati/ walikota, kepala2 dinas, anggota DPR/MPR RI, anggota DPRD Tk I/DPRD Tk II dan para camat-lah yang gendut dan bisa bersuka ria di atas penderitaan rakyat.
Subsidi?
Apa itu subsidi? Sangat tidak jelas maksudnya. Dalam praktek apa lagi dalam kogini masyarakat lapisan menengah ke bawah. Isyu subsidi pada hakikatnya, bukan kamaren sore terngiang-ngiang dikalangan masyarakat Indonesia, istilah itu sudah diwacanakan oleh pendahulu-pendahulu pemerintahan sekarang ini. Bagaimana aplikasi dalam realitas, tidak jelas sama sekali. Sudah sejak 2 tahun lalu, harga minyak tanah di beberapa daerah di Indonesia seperti di Sumatra berkisar Rp. 10.000,- (itupun kualitas rendah berwarna kuku bima rasa anggur). Harga minyak tanah di daearah lainnya, seperti kawasan Indonesia Tengah dan Timur, bisa mencapai Rp. 20.000,- per/liter atau bisa lebih jika ke pelosok-pelosok seperti di NTT dan Papua.
Apa subsidi? Subsidi sama artinya dengan pemotongan beberapa persen harga dari harga yang seharusnya, contohnya beras untuk kaum miskin (raskin) --yang sesungguhnya gratis karena bantuan bersa untuk rakyat miskin, tetapi 'bantuan-tetap bantuan, namun bersubsidi --yaitu harus membayar uang Rp. 2.000,- per/bambu. Jadi, istilah subsidi itu kalo di mall2, seperti; Matahari, Robinson atau di Ramayana, namanya diskon.Seharusnya pemerintah ketika melihat subsidi BBM tidak hanya pada pengguna mobil, tapi juga melihat pengguna sepeda motor. Selain itu, pemerintah juga harus-harus lebih melirik lagi kondisi rakyatnya yang masih menggunakan kompor manual (kompor minyak tanah), karena tabung gas 7,5 kg yang diberikan secara gratis, telah membuat banyak rakyat kecil trauma dan menderita sepanjang hidup akibat meledak tanpa sebab sehingga masyarakat takut menggunakan kompor gas. Itulah realitas di negeri kita, para sahabat silahkan analisis sendiri... (SU).


Tidak ada komentar:
Posting Komentar