"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku
adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS.Al-Maidah: 8)
Sahabat.....
Ketika kita menyaksikan realitas keadilan, pasti terbayang apa sih keadilan dan siapa pencari keadilan dan siapa yang bisa memberi keadilan.
Setelah renungan panjang disertai dengan klip realitas yang disaksikan, ternyata sahabat tidak menemukan apa arti keadilan. Menurut Nurcholis Madjid, keadilan adalah ketetapan Allah bagi alam raya ciptaan-Nya, karena dalam ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.
Setelah renungan panjang disertai dengan klip realitas yang disaksikan, ternyata sahabat tidak menemukan apa arti keadilan. Menurut Nurcholis Madjid, keadilan adalah ketetapan Allah bagi alam raya ciptaan-Nya, karena dalam ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.
Namun dalam realitas kita ketika dipraktekkan oleh pimpinan, kepala daerah, presiden, atau kepala-kepala lainnya hanya sebuah konteks fatamorgana di alam bawah sadar yang namanya mimpi. Realitas menunjukkan bahwa lazimnya ketika seseorang sampai pada hajatannya (puncak kekuasaan), misalnya menjadi pimpinan daerah, kepala desa, ketua lembaga, kepala kantor atau pimpinan lembaga pendidikan; dasar, menengah hingga perguruan tinggi --ternyata tidak mampu mengadopsi konsep adil dan keadilan yang pernah dipahaminya atau dimaknainya.
Demikian juga di pengadilan tinggi (umum dan agama) di Indonesia, yang menjadi icon masyarakat mencari keadilan. Tidak pernah dirasakan keadilan oleh masyarakat yang mencari keadilan hukum dari negara. Sangat rumit dan pelik memang. Di sisi lain, jika masyarakat mengadili langsung dilapangan (ditempat kejadian perkara) terhadap pelaku kriminalitas, kekerasan, pemerkosa, pembunuh, perampok, koruptor dan pelaku2 zhalim lainnya --sudah dituduh melanggar hukum karena main hakim sendiri, tidak taat hukum dan menentang kebijakan negara.
Tetapi di saat masyarakat sangat sadar hukum, taat hukum dan tunduk pada perundang-undangan negara, tidak satupun kasus yang disidangkan di lembaga penegak hukum bisa memuaskan para pencari keadilan; tengok saja kasus Munir, kasus Marsinah, dan kasus2 HAM lainnya yang tidak jelas ketukan palu hakim munafik, yang sengaja memenangkan para perampas HAM. Sangat tidak rasional model pengadilan hukum di Indonesia. Di satu sisi masyarakat dilarang bermain hakim sendiri, sementara di sisi lain para pekerja di lembaga hukum tidak perduli dengan keluhan dan kebenaran2 dari pihak pencari keadilan. Para hakim dan jaksa boleh melakukan apasa saja sesuka hatinya untuk memvonis orang2 yang tidak bersalah (orang benar), dan membebaskan orang zhalim (pelaku/orang yang benar2 salah) walau bukti disodorkan seabreek...oleh si pencari keadilan akan tetapi dalam penilaian jaksa dan hakim masih kurang.
Inilah dilema dasar dari konsep adil dan keadilan sehingga untuk mewujudkannya butuh perjuangan dan pengorbanan yang tidak henti2nya. Kondisi yang demikian, maka muncullah persespi sosial bahwa, hukum di negera ini berlaku bagi rakyat jelata (wong cilik) yang tidak punya duit, namun bagi orang2 berduit (pengusaha, pejabat, penegak hukum, pimpinan, kepala ini dan itu, dsb) hukum tidak berlaku. Akibat praktek hukum yang rusak dan hina dina, maka pengelolaan keuangan negara juga amburadul, korupsi meraja lela, keadilan menjadi semu dan tidak ada ---diakui atau tidak, tergantung dari penalaran anda sekalian.
Secara real dan hakikat, banyak jaksa dan hakim (aparat penegak hukum lainnya) yang teler dan alergi dengan istilah keadilan. Tengoklah kasus2 korupsi dan HAM--yang melibatkan pejabat tinggi negara, pejabat militer, pejabat kepolisian atau pejabat sipil. Bagaimana proses hukurm, arti keadilan atau proses sidang yang dijalankan --sangat menyedihkan dan hanya menghabiskan uang negara saja untuk acara persidangan para maling berdasi. Kemudian tengoklah model keadilan yang diberikan oleh hakim, dan jaksa penuntut umum ketika proses persidangan yang melibatkan orang miskin, rakyat jelata, pencuri sendal, pencuri ayam, maling kambing, atau kasus demo mahasiswa. Proses keadilan tidak perlu dicari di pengadilan, karena pengadilan adalah sarang mafia hukum.
Berbeda tempat berbeda kasus, misalnya informasi dari berbagai media massa (cetak dan elektronik) dalam beberapa bulan terakhir, sedang mencuat kasus perkosaan di atas angkutan umum, kasus perkosaan anak di bawah umur, kasus pelecehan seksual di tempat kerja, kasus pencurian pulsa HP, kasus pembobolan toko emas, kaus pembobolan ATM, dan kasus2 kriminalitas lainnya yang menggunakan senjata api atau benda2 tajam lainnya. Sejumlah kasus tersebut seolah tidak ada solusi sama sekali. Hal ini dibuktikan oleh realitas sosial bahwa tidak satupun kasus2 tersebut mampu diungkap kepublik oleh para penegak hukum. Salahkan jika masyarakat ketika emosional tanpa kendali membuat pengadilan jalanan, sesuai dengan hukum alam?
Di realitas sehari-hari, proses ketidak adilan juga muncul dalam berbagai kesempatan; misalnya ada guru atau pendidik yang hanya adil pada siswa-siswa yang berduit saja, tanpa perduli dengan siswa yang miskin. Ada dosen yang menyukai mahasiswa2 yang tampan dan cantik2 saja, dan cuek dengan mahasiwa yang agak kere tampang wajahnya dan tidak tampan. Di tempat kerja, pimpinan hanya share dan menempatkan anak buahnya yang mau menjilat telapak kakinya atau yang bisa dininak-bobokkan dengan segala tindakan sang boss, meskipun keliru dan salah prosedur. Dan si boss sengaja menyingkirkan secara halus atau terang-terangan, para karyawaan yang cerdas, pintar dan intelektualis --karena mereka2 tidak mau menjilat telapak kaki dan tidak mau dininak-bobokkan oleh si boss. Sangat menyedihkan model keadilan yang diterapkan oleh sebagian orang yang merasa diri sedang di atas, seolah tidak turun lagi ke titik nol.
Ketahuilah bahwa, pimpinan atau kepala ini dan itu di berbagai realitas yang anda lihat dan anda rasakan bisa diartikan bukan orang yang beriman dan taat kepada ajaran agama dan tidak tahu sama sekali konsep adil dan keadilan sehingga proses perjalanan kehidupan kantor, lembaga, institusi atau pemerintahan yang dipimpinnya akan berjalan di tempat dan tidak ada perkembangan apa2. Pimpinan yang berlagak sok tahu jadi pimpinan adalah pimpinan yang tidak rasional, terpilih karena dipaksakan oleh pembisik2 (syetan2) yang sengaja menjerumuskan kandidat ini ke dalam kehancuran moralnya. Pimpinan yang tidak rasional adalah pimpinan yang mau melakukan apa saja untuk kepentingan pribadinya. Akibatnya, jika dilembaga pendidikan akan terjadi pembodohan yang dirasakan oleh setiap personal pendidikan dan peserta didik, dan ini sangat menyakitkan, karena pimpinannya seorang yang teler, yang tidak rasional dan memimpin dengan cara2 otoriter dan pikiran tolol.
Bila realitas ini berkaitan dengan hajatan orang banyak (daerah, wilayah atau negara) maka akan selalu dalam status sedang berkembang, tidak ada istilah "berkembang", boro-boro menjadi daerah, wilayah atau negara "industri" atau "maju" --hanya impian belaka. Oleh karena itu, orang2, kelompok atau masyarakat yang telah memilih si pimpinan, ketua, kepala atau kata yang serupa dengannya juga akan ikut bertanggungjawab dengan segala tindakan dan perbuatan kedhaliman yang dilakukan oleh si boss yang dipilihnya sepanjang hidup. Akhirnya, tanggungjawab juga akan tetap abadi dirasakan kelompok, orang2 dan masyarakat pemilih setelah mereka2 menjadi jenazah nantinya. AF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar