Ketika berteduh dibawah pohon Mahoni melepas penat di pinggir lapangan Hiraq, selasa pagi (6/6/2012), pukul 11.00 Wib atau persis di depan kantor Dinas Syariat Islam sambil memperhatikan arsitektur bangunan Masjid Islamic Center Kota Lhokseumawe. Saya melihat seorang anak laki-laki usia sekolah SD dengan pakaian biru tua dan celana panjang merah hati agak lesuh sedang tidur-tiduran beralas gardus aqua di samping tangga trimbun upacara lapangan Hiraq.
Karena ingin tahu, saya dekati anak itu dan saya sapa, “kamu kok tiduran ditumpukan gardus”.
Anak itu menjawab, “tingoh lon preh wak Ti seumampoh” (saya lagi menunggu wak Ti yang sedang menyapu). Saya lirik kiri kanan, depan belakang saya, tapi wak Ti yang dimaksud anak itu kok tidak ada. Saya bertanya, dimana wak Ti kamu menyapu? Anak itu menjawab,”di jalan”, maksudnya dipinggir jalan protokol dalam kota Lhokseumawe.
Wak Ti itu siapa? Anak itu menjawab, “wak lon, geukerija sebagai tukang sumampoh di sinou” (wakTi bekerja di sini sebagai tukang sapu, dia wak saya). Melihat Suasana yang komunikatif, saya terus nanya-nanya lagi, “kamu siapa nama”, dan dia menjawab”Tafa”. Mustafa...maksudnya? anak ini mengangguk…ya. Kamu kok disini sendirian tidur-tiduran, apa kamu tidak sekolah? Tafa dengan sigap menjawab, “lon sikula glah peut, tapi mak ngan yah ka geumeucree, lon hana le sikula”, (saya sekolah kelas 4, tetapi karena orang tua saya sudah bercerai saya tidak sekolah lagi).
Kemudian saya tanya, dimana kampung kamu? Anak ini menjawab, “lon dari Peunteut, tou dolog” (saya dari desa Peunteut dekat gudang Bulog). Berapa usia kamu? Anak ini menjawab, “12 thon”. Dengan lancar dia bercerita lagi, “yah lon leh ho geujak hom, lheuh geumeucree ngan mak lon hana tom geuwo le” (ayah saya entah pergi kemana, setelah bercerai dengan ibu saya gak pernah lagi pulang ke rumah). Kamu tinggal dengan siapa? Mustafa menjawab, “ngon nek, nek pih ka saket-saket, ka tuha” (saya tinggal dengan nenek, nenek saya sekarang sudah sakit-sakitan dan sudah tua) Terus, kamu masih punya ibu?, Mustafa menjawab’ “mantong”(masih ada).
Sekarang ibumu dimana? “Ho leh ka geujak, lheuh geumeucree hana geu wou le u rumoh” (entah kemana perginya, setelah bercerai dengan ayah gak pernah pulang lagi ke rumah), kata Mustafa. Kamu punya adik? “na 2 drou, tapi ka geuba le mak,” (ada dua orang, tapi sudah dibawa mamak), jawab Mustafa lagi. Tanpa terasa jam menunjukkan pukul 12.40 menit, tak terasa waktu berjalan terus hingga azan memanggil untuk sholat zuhur, saat itulah percapakan yang menyenangkan dengan seorang anak terlantar berhenti.
Namun, sebelum saya pamitan, saya minta Mustafa untuk diambil fotonya, ternyata dia tidak menolak dan tersenyum saja. Mustafa, hampir setiap hari bermain sendirian ditemani mainan lesuh dan tumpukan gardus bekas tanpa orang tua, makan minum tidak menentu, tapi diraut wajahnya seolah tidak ada beban, selain rintihan dalam jiwanya karena ‘kehilangan orang tua’ sejak dia kecil hingga dia terlantar di Kota "Petro Dollar" sampai waktu yang tidak pasti. [SW]
Anak itu menjawab, “tingoh lon preh wak Ti seumampoh” (saya lagi menunggu wak Ti yang sedang menyapu). Saya lirik kiri kanan, depan belakang saya, tapi wak Ti yang dimaksud anak itu kok tidak ada. Saya bertanya, dimana wak Ti kamu menyapu? Anak itu menjawab,”di jalan”, maksudnya dipinggir jalan protokol dalam kota Lhokseumawe.
Wak Ti itu siapa? Anak itu menjawab, “wak lon, geukerija sebagai tukang sumampoh di sinou” (wakTi bekerja di sini sebagai tukang sapu, dia wak saya). Melihat Suasana yang komunikatif, saya terus nanya-nanya lagi, “kamu siapa nama”, dan dia menjawab”Tafa”. Mustafa...maksudnya? anak ini mengangguk…ya. Kamu kok disini sendirian tidur-tiduran, apa kamu tidak sekolah? Tafa dengan sigap menjawab, “lon sikula glah peut, tapi mak ngan yah ka geumeucree, lon hana le sikula”, (saya sekolah kelas 4, tetapi karena orang tua saya sudah bercerai saya tidak sekolah lagi).
Kemudian saya tanya, dimana kampung kamu? Anak ini menjawab, “lon dari Peunteut, tou dolog” (saya dari desa Peunteut dekat gudang Bulog). Berapa usia kamu? Anak ini menjawab, “12 thon”. Dengan lancar dia bercerita lagi, “yah lon leh ho geujak hom, lheuh geumeucree ngan mak lon hana tom geuwo le” (ayah saya entah pergi kemana, setelah bercerai dengan ibu saya gak pernah lagi pulang ke rumah). Kamu tinggal dengan siapa? Mustafa menjawab, “ngon nek, nek pih ka saket-saket, ka tuha” (saya tinggal dengan nenek, nenek saya sekarang sudah sakit-sakitan dan sudah tua) Terus, kamu masih punya ibu?, Mustafa menjawab’ “mantong”(masih ada).
Sekarang ibumu dimana? “Ho leh ka geujak, lheuh geumeucree hana geu wou le u rumoh” (entah kemana perginya, setelah bercerai dengan ayah gak pernah pulang lagi ke rumah), kata Mustafa. Kamu punya adik? “na 2 drou, tapi ka geuba le mak,” (ada dua orang, tapi sudah dibawa mamak), jawab Mustafa lagi. Tanpa terasa jam menunjukkan pukul 12.40 menit, tak terasa waktu berjalan terus hingga azan memanggil untuk sholat zuhur, saat itulah percapakan yang menyenangkan dengan seorang anak terlantar berhenti.
Namun, sebelum saya pamitan, saya minta Mustafa untuk diambil fotonya, ternyata dia tidak menolak dan tersenyum saja. Mustafa, hampir setiap hari bermain sendirian ditemani mainan lesuh dan tumpukan gardus bekas tanpa orang tua, makan minum tidak menentu, tapi diraut wajahnya seolah tidak ada beban, selain rintihan dalam jiwanya karena ‘kehilangan orang tua’ sejak dia kecil hingga dia terlantar di Kota "Petro Dollar" sampai waktu yang tidak pasti. [SW]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar