Welcome

SaHaBat Semua.. SELAMAT DATANG di Blog "REALITA's: Melirik FakTa Berbagi CeriTA" >> TeRiMa KaSiH Atas KunJunGannya...dan Beri comment, SeMoGa Bermanfaat....!

Sabtu, 21 Juli 2012

Menakar Rasionalitas Pemilih Dalam Pemilu

Hajatan pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota hingga kepala desa dalam wacana politik disebut pesta demokrasi. Hajatan serupa juga terjadi dalam ranah pendidikan tinggi (PT), mulai tingkat universitas/institute sampai fakultas. Sejalan perkembangan zaman, model dan sistem pemilihan kepala negara atau kepala daerah tidak lagi menggunakan teori orde lama dan orde baru.

Pada masa Orla dan Orba sistem pemilu hampir tidak ada perbedaan yang signifikan, presiden/wakil presiden dipilih oleh DPR. Demikian juga gubernur/wakilnya yang dipilih DPRD Tk.I,  bupati/walikota dan wakilnya, dipilih oleh DPRD Tk. II, yang tidak pernah melibatkan rakyat pemilih secara langsung. Akan tetapi, di era reformasi sistem pemilu di Indonseia telah direnovasi, seiring dengan amandemen UUD 45 agar rakyat bisa memilih pemimpinnya.
Pesta demokrasi –pemilu, pilkada di suatu negara atau event pemilihan rektor dan dekan di suatu pendidikan tinggi– selalu melibatkan masyarakat yang sudah bisa memilih. Sistem pemilu di Amerika Serikat misalnya– pemilu dilakukan setiap empat tahun sekali untuk memilih presiden/wakilnya. Namun, untuk pemilihan anggota legislatif dilakukan setiap dua tahunan, warga Amerika Serikat memilih ke 435  anggota DPR-nya, dan kira-kira sepertiga dari anggota DPR AS (± 100 orang) menjadi anggota Senat AS dengan masa bakti setiap senator adalah enam tahun.
Yang menarik di AS, proses pemilihan kepala negara dilakukan dalam dua tahapan, yaitu pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum. Pemilihan pendahuluan dilakukan untuk menentukan calon-calon dari partai politik yang akan maju untuk pemilihan umum. Para calon yang menang dalam pemilihan awal ini, selanjutnya mewakili partainya dalam pemilu presiden/wakil presiden.
Di Indonesia, model pemilihan kepala negara atau anggota DPR berbeda dengan AS. Di negeri ini pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, baik untuk pemilihan anggota legislatif maupun untuk pemilihan kepala negara dan wakilnya, serta tidak ada pemilihan awal oleh rakyat untuk menentukan calon presiden/wakilnya dari partai politik yang melibatkan rakyatnya, kecuali diatur sendiri oleh masing-masing partai politik sesuai dengan kebijakan partai.
Karena itu, tingkat rasionalitas pemilih dalam pesta demokrasi di AS jika ditelaah secara mendalam cenderung realistis. Sementara keadaan rasionalitas pemilih dalam pemilu di negeri kita, masih mengundang tanda tanya besar (???) Hal ini disebabkan oleh karakter dan pengalaman berpolitik masa orde baru masih menjadi grounded teori bagi pelaku politik bangsa ini. Terlepas dari ada-tidaknya hasil penelitian akademik, namun fenomena irrasionalitas menjadi diskursus realitas pemilih di Indonesia, baik dalam ajang pesta pemilu, pilkada atau bahkan dalam pemilihan pimpinan di lembaga pendidikan tinggi, dsb.
Realitas sosial pasca reformasi di negeri ini menunjukkan bahwa sebelum pesta demokrasi digelindingkan, para calon kandidat yang maju, baik yang berasal dari partai politik maupun kontestan dari non partai (independent) biasanya sudah melakukan persiapan secara siaga untuk mensosialisasikan dirinya masing-masing dalam berbagai kesempatan dan event kehidupan.
Terlebih lagi, para kandidat dari partai politik besar. Mereka selalu menyanyikan lagu, “maju tak gentar” atau melantunkan puisi “pantang mundur demi rakyat”. Dengan teori heroik ini, muncullah gejala ambisiusme yang mendalam agar dapat mencapai puncak yang didambakan oleh hakikat politiknya, meskipun secara realistis power mereka di mata rakyat sudah pudar.
Mengantisipasi gejala pudar ini agar tidak musnah, maka ragam “kebajikan”perilaku dan aksi “sosial”, seperti santunan pada anak yatim dan fakir miskin, santunan ke panti-panti asuhan atau rumah singgah, perduli pada konsep pembangunan desa, bercanda ria dengan kalangan menengah ke bawah hingga safari politik ke seluruh pelosok nusantara untuk silaturrahmi dengan rakyat, dsb.
Perilaku “baik” ini sengaja dikondisikan dan ditampilkan sepanjang hajatan pesta demokrasi belum dilaksanakan. Adapun tujuan dari kepedulian sosial ini hanyalah semata-mata untuk menarik simpati dan menguatkan kembali ranah kognisi publik agar tidak hilang total, dengan harapan bahwa penilaian publik –khususnya kelas menengah ke bawah agar selalu ‘melek’ pada kandidat yang disuguhkan partainya.
Jika model politik seperti itu dipraktekkan sepanjang sejarah negeri, bagaimana mungkin konsep demokratis dan rasionalitas mampu hidup untuk diaplikasikan oleh para pemilih dalam hajatan pemilu, pilkada atau pilkades. Karena konteks rasionalitas adalah berbicara fakta, kenyataan atau realita untuk mencapai kebenaran. Berbicara rasionalitas adalah berbicara introspeksi diri, kritik diri dan kritik sosial untuk mencapai kemajuan bersama kepentingan bersama dan kemakmuran bersama.
Lebih jauh, bila politik “balas budi” masih bersemanyam dalam diri bangsa ini ketika hajatan demokrasi dilaksanakan, maka yang rasional adalah warga yang absen memilih alias golput. Sementara yang tercatat sebagai pemilih di arena pemilu, pilkada atau pilkades adalah sebagian besar adalah pemilih irrasional.[*]

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Online Kabar Indonesia (14/07/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar