Hajatan pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota hingga kepala desa
dalam wacana politik disebut pesta demokrasi. Hajatan serupa juga terjadi dalam
ranah pendidikan tinggi (PT), mulai tingkat universitas/institute sampai fakultas. Sejalan perkembangan zaman, model dan sistem pemilihan kepala negara
atau kepala daerah tidak lagi menggunakan teori orde lama dan orde baru.
Pada masa Orla dan Orba sistem pemilu hampir tidak ada perbedaan yang signifikan,
presiden/wakil presiden dipilih oleh DPR. Demikian juga gubernur/wakilnya
yang dipilih DPRD Tk.I, bupati/walikota dan wakilnya, dipilih oleh DPRD Tk.
II, yang tidak pernah melibatkan rakyat pemilih secara langsung. Akan tetapi, di era
reformasi sistem pemilu di Indonseia telah direnovasi, seiring dengan amandemen
UUD 45 agar rakyat bisa memilih pemimpinnya.
Pesta demokrasi –pemilu, pilkada di suatu negara atau event pemilihan
rektor dan dekan di suatu pendidikan tinggi– selalu melibatkan masyarakat yang
sudah bisa memilih. Sistem pemilu di Amerika Serikat misalnya– pemilu dilakukan
setiap empat tahun sekali untuk memilih presiden/wakilnya. Namun, untuk
pemilihan anggota legislatif dilakukan setiap dua tahunan, warga Amerika
Serikat memilih ke 435 anggota DPR-nya,
dan kira-kira sepertiga dari anggota DPR AS (± 100 orang) menjadi anggota Senat
AS dengan masa bakti setiap senator adalah enam tahun.
Yang menarik di AS, proses pemilihan kepala negara dilakukan dalam dua
tahapan, yaitu pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum. Pemilihan pendahuluan
dilakukan untuk menentukan calon-calon dari partai politik yang akan maju untuk
pemilihan umum. Para calon yang menang dalam pemilihan awal ini, selanjutnya
mewakili partainya dalam pemilu presiden/wakil presiden.
Di Indonesia, model pemilihan kepala negara atau anggota DPR berbeda dengan
AS. Di negeri ini pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, baik untuk
pemilihan anggota legislatif maupun untuk pemilihan kepala negara dan wakilnya,
serta tidak ada pemilihan awal oleh rakyat untuk menentukan calon
presiden/wakilnya dari partai politik yang melibatkan rakyatnya, kecuali diatur
sendiri oleh masing-masing partai politik sesuai dengan kebijakan partai.
Karena itu, tingkat rasionalitas pemilih dalam pesta demokrasi di AS jika
ditelaah secara mendalam cenderung realistis. Sementara keadaan rasionalitas
pemilih dalam pemilu di negeri kita, masih mengundang tanda tanya besar (???) Hal ini
disebabkan oleh karakter dan pengalaman berpolitik masa orde baru masih menjadi
grounded teori bagi pelaku politik bangsa ini. Terlepas dari ada-tidaknya hasil
penelitian akademik, namun fenomena irrasionalitas menjadi diskursus realitas
pemilih di Indonesia, baik dalam ajang pesta pemilu, pilkada atau bahkan dalam
pemilihan pimpinan di lembaga pendidikan tinggi, dsb.
Realitas sosial pasca reformasi di negeri ini menunjukkan bahwa sebelum
pesta demokrasi digelindingkan, para calon kandidat yang maju, baik yang berasal
dari partai politik maupun kontestan dari non partai (independent) biasanya
sudah melakukan persiapan secara siaga untuk mensosialisasikan dirinya
masing-masing dalam berbagai kesempatan dan event kehidupan.
Terlebih lagi, para kandidat dari partai politik besar. Mereka selalu menyanyikan
lagu, “maju tak gentar” atau melantunkan puisi “pantang mundur demi rakyat”. Dengan
teori heroik ini, muncullah gejala ambisiusme yang mendalam agar dapat mencapai
puncak yang didambakan oleh hakikat politiknya, meskipun secara realistis power
mereka di mata rakyat sudah pudar.
Mengantisipasi gejala pudar ini agar tidak musnah, maka ragam
“kebajikan”perilaku dan aksi “sosial”, seperti santunan pada anak yatim dan
fakir miskin, santunan ke panti-panti asuhan atau rumah singgah, perduli pada
konsep pembangunan desa, bercanda ria dengan kalangan menengah ke bawah hingga
safari politik ke seluruh pelosok nusantara untuk silaturrahmi dengan rakyat,
dsb.
Perilaku “baik” ini sengaja dikondisikan dan ditampilkan sepanjang hajatan
pesta demokrasi belum dilaksanakan. Adapun tujuan dari kepedulian sosial ini
hanyalah semata-mata untuk menarik simpati dan menguatkan kembali ranah kognisi
publik agar tidak hilang total, dengan harapan bahwa penilaian publik
–khususnya kelas menengah ke bawah agar selalu ‘melek’ pada kandidat yang
disuguhkan partainya.
Jika model politik seperti itu dipraktekkan sepanjang sejarah negeri,
bagaimana mungkin konsep demokratis dan rasionalitas mampu hidup untuk diaplikasikan
oleh para pemilih dalam hajatan pemilu, pilkada atau pilkades. Karena konteks rasionalitas
adalah berbicara fakta, kenyataan atau realita untuk mencapai kebenaran.
Berbicara rasionalitas adalah berbicara introspeksi diri, kritik diri dan
kritik sosial untuk mencapai kemajuan bersama kepentingan bersama dan
kemakmuran bersama.
Lebih jauh, bila politik “balas budi” masih bersemanyam dalam diri bangsa
ini ketika hajatan demokrasi dilaksanakan, maka yang rasional adalah warga yang
absen memilih alias golput. Sementara yang tercatat sebagai pemilih di arena
pemilu, pilkada atau pilkades adalah sebagian besar adalah pemilih irrasional.[*]
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Online Kabar Indonesia (14/07/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar