Sejumlah perbedaan --baik secara fisik maupun psikologis-- yang terpatri dalam realitas kehidupan ini cenderung melahirkan pikiran-pikiran jelek pada diri seseorang atau kelompok orang. Tampilan wajah menawan nan ganteng atau cantik dengan bodi langsing misalnya, telah menimbulkan analisis yang berbeda. Apalagi jika penampilan seseorang tidak menarik sama sekali, atau tidak sempurna fisik, maka sudah sering menjadikan ejekan, olokan atau sindiran murahan di realitas. Demikian halnya dengan perbedaan dalam arti psikologis dan sosiologis, seperti; taraf pendidikan,
pandangan, ideologi, atau status sosial ekomoni dan sebagainya --gejala ini akan menimbulkan benih-benih sentimentil, prasangka atau gosip tak sedap di realitas.
Ketika seseorang kaya mendadak, karena mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka, misalnya mendapat hadiah sepeda motor atau mobil dari bank tertentu karena kita rajin menabung dan kebetulan dwi fortuna sedang berpihak pada kita. Atau seseorang naik pangkat atau mendapat promosi jabatan sebagai kepala bagian atau pimpinan utama dari kantornya. Demikian halnya dengan keberhasilan demi keberhasailan yang digapai oleh individu atau kelompok orang dalam berbagai aspek kehidupan lainnya; mudah bergaul dan berkomunikasi dengan lingkungan, prestasi belajar yang membanggakan, peningkatan usaha bisnis/dagang, dan sebagainya --juga tidak jarang diterpa rasa ketidaksenangan, isu, gosip atau prasangka dari lingkungan sekitar atau lingkungan dimana seseorang beraktivitas.
Mengapa hal ini
bisa terjadi? Inilah yang dinamakan dengan realitas sosial atau dunia kita yang didalamnya
penuh gejala; persaingan, carut marut, hasutan atau tidak simpatik dengan keberhasilan orang lain. Fenomena ini sesungguhnya berakar dari rasa sentimentil dan iri hati yang melahirkan kecemburuan sosial. Idealnya, fenomena yang fenomenal ini pada hakikatnya dialami oleh setiap
warga masyarakat dalam lingkungan tertentu; baik di tempat tinggal, tempat bermain atau
tempat bekerja, dan lain-lain. Fakta empirik ini, jika ditelaah dari sisi
kajian sosiologis digerakkan oleh suasana stratifikasi yang ada dalam ranah
sosial sehingga membentuk beragam lapisan atau perbedaan dalam masyarakat.
Sementara bila
dianalisis dari sisi psikologi sosial, maka akan terungkap gejala psikologis
individu dalam masyarakat dipicu oleh ketidak mampuan atau ketidak berdayaan orang atau kelompok orang dalam membuat konsep diri dan memaknai realitas itu sendiri sehingga menimbulkan ketegangan dan kecemasan pada diri individu atau kelompok, yang pada gilirannya timbul rasa cemburu yang berlebihan dan mendalam terhadap orang lain atau objek perilaku tertentu. Gordon Alport (1958), melihat gejala kecemburuan sosial digerakkan
oleh beberapa aspek, seperti; historis, psikologis, fenomenologis, naive,
sosiokurltural dan situasional. Melalui orientasi tersebut, maka konteks
cemburu sosial yang dimotivasi oleh prasangka individu atau kelompok kemudian
memunculkan beragam perbedaan pandangan dan pada akhirnya melahirkan
kecemburuan sosial di realitas masyarakat.
Dimensi historis
sangat mempengaruhi munculnya prasangka yang membentuk persepsi negatif individu
atau kelompok orang yang tinggi hingga memuncak pada kecemburuan sosial yang
mendalam dan bahkan konflik antar pribadi. Ranah ini cenderung dikompori oleh
penguatan tali silsilah (keturunan), budaya, adat istiadat, pendidikan, kondisi
ekonomi, dan lain-lain. Sementara aspek psikologis lebih terpatri pada
sisi kepribadian individu atau kelompok itu sendiri akibat kegagalan demi
kegagalan yang dihadapi atau dirasakan dalam hidupnya hingga membentuk kondisi
stres atau frustasi yang pada gilirannya melahirkan perilaku agresif hingga
abusive. Karena akumulasi keadaan ini maka kecemburuan sosial muncul sebagai
manifestasi dari rasa iri, sirik atau sentimentil terhadap orang lain.
Selanjutnya bila
ditilik dari sisi fenomenologis, kecemburuan sosial dibangun dari kesalahan
persepsi dan ketidak lengkapan informasi yang diterima seseorang atau kelompok
orang terhadap objek tertentu di lingkungan sekitar.Dari fenomena ini muncullah
prasangka, perbedaan pandangan, konflik internal, silang pendapat atau ulur
tarik dalam realitas sosial. Jika dianalisis dari konteks naive dalam
realitas, individu acapkali mencurigai, menduga-duga atau membuat pernyataan
yang tidak benar terhadap suatu objek perilaku tertentu. Wahana su’udhon
demi su’udhon yang dilakonkan orang, kemudian menjadi tabiat dalam diri
seseorang sehingga meretas rasa cemburu dalam kehidupan sosial.
Kemudian pergerakan
kecemburuan sosial juga dipicu oleh keadaan sosiokultural dan situasional yang dianut
oleh lingkungan sekitar. Akulturasi budaya dalam masyarakat kita terkadang
tidak sejalan dengan pedoman, norma atau aturan hukum yang diyakini oleh
individu atau masyarakat dimana tempat kita berdomisili atau tempat kita
melakukan aktivitas harian. Benturan-benturan pemikiran, ide atau tradisi
budaya mengakibatkan konflik antar personal dan sosial, stereotiping atau
prasangka budaya. Konteks ini diperparah lagi oleh suasana lingkungan yang masih
menganut azas primordial, tidak demokratis dalam mengatasi masalah dan lain
sebagainya. Gejala ini tentu akan memperkuat rasa kecemburuan sosial, karena masyarakatnya
cenderung masih sangat sulit menerima pembaharuan, pola pikir baru, pluralisme
atau heterogenisme. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar